Sayidina Ali Bin
Abi Thalib r.a., pernah meriwayatkan bahwa begitu seseorang meninggal dunia,
ketika jenazahnya masih terbujur, diadakanlah “upacara perpisahan” di alam ruh.
Pertama-tama ruh mayit dihadapkan kepada seluruh kekayaannya yang dia miliki.
Kemudian terjadi dialog antara keduanya. Mayit itu berkata kepada seluruh
kekayaannya, “Dahulu aku bekerja keras untuk mengumpulkan kamu, sehingga aku
lalai dan lupa untuk mengabdi kepada Allah, bahkan sampai aku tidak mau tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Sekarang, apa yang akan kamu berikan
sebagai bekal dalam perjalananku ini.” Lalu harta kekayaan itu berkata,
“Ambillah dariku hanya untuk kain kafanmu.” Jadi
hanya kain kafanlah harta yang dapat dibawa untuk bekal perjalanan selanjutnya.
Sesudah itu si
mayit dihadapkan kepada seluruh keluarganya (anak-anaknya, suami atau
istrinya), lalu si mayit berkata, “Dahulu aku mencintai kalian, menjaga dan
merawat kalian dengan sepenuh hatiku. Begitu susah payah aku mengurus diri
kalian, sampai aku lupa mengurus diriku sendiri. Sekarang apa yang kalian mau
bekalkan kepadaku pada perjalanan menuju Allah ini?” kemudian keluarganya
mengatakan, “Kami antarkan kamu sampai ke kuburan.”
Setelah itu si
mayit akan dijemput oleh makhluk jelmaan amalnya. Kalau selama hidup ia banyak
beramal saleh, maka dia akan dijemput oleh makhluk yang berwajah ceria dengan
memancarkan cahaya dan aroma semerbak, yang jika dipandang akan menimbulkan
kenikmatan yang tiada taranya. Sebaliknya, bila waktu hidup sering membangkang
pada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka si mayit akan dijemput oleh makhluk
yang menakutkan, dengan bau yang teramat busuk. Makhluk jelmaan itu lalu
mengajak si mayit pergi. Bertanyalah si mayit, “Siapakah Anda ini sebenarnya?
Saya tidak kenal dengan Anda.” Makhluk itu kemudian menjawab, “Akulah jelmaan
amal kamu sewaktu hidup, dan aku akan selalu menemanimu dalam menempuh
perjalanan panjang menuju Ilahi.”
Cobalah Nanda
renungkan kisah ini. Perjalanan panjang yang mau tidak mau harus kita jalani
kelak, akan ditemani oleh seorang “teman abadi” yang sebenarnya kita “Pilih”
sendiri. Alangkah bahagianya bila “teman” ini menyenangkan, dan alangkah
malangnya bila perjalanan jauh yang seoralah-olah tak berujung ini, ditemani
“teman” yang selalu membuat kita sengsara. Ingatlah pula keterangan yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw., berikut, “Sesungguhnya
kubur adalah permulaan dari tempat-tempat akhirat. Kalau pemiliknya selamat
darinya, maka apa yang ada sesudah itu leh mudah baginya. Kalau pemiliknya
tidak selamat darinya, maka apa yang ada sesudahnya adalah lebih berat.”
“Kebinasaan umatku ada di dalam dua
hal, yaitu meninggalkan ilmu dan mengumpulkan harta!”
Sabda : Muhammad Rasulullah Saw.
Catatan
:
Al-Qur’an dalam
surat Lukman ayat 33 memperingatkan, “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia
memperdayakanmua”. Banyak orang yang terperdaya, tapi tidak merasa
diperdaya. Ilustrasi yang dikutip dari buku “Reformasi Sufistik” karangan
Jalaluddin Rakhmat, mungkin tepat menggambarkan orang yang demikian itu.
“Pada suatu hari
Juha berangkat ke pasar mengendarai keledainya. Sesampainya di pasar,
ditambatkannya keledainya itu dengan seutas tali. Tanpa ia ketahui, di
belakangnya ada dua orang pencuri. Begitu Juha masuk ke pasar, salah seorang
diantara mereka mengambil keledainya dan mengikatkan talinya ke leher temannya.
Mendapatkan keledainya hilang, tentu saja Juha panik. Apalagi dilihatnya ada
orang yang tidak dikenalnya terikat tali keledainya. “Siapa Anda?” tanya Juha.
Orang itu dengan wajah sedih dan malu berkata, “Saya ini adalah keledai yang
Bapak miliki. Dahulu saya durhaka terhadap orang tua. Saya diubah Tuhan menjadi
keledai. Hari ini rupanya orang tua saya telah memaafkan saya. Dan, Tuhan
mengembalikan saya kepada bentuk semula.” Juha jatuh iba. Ia melepaskan orang
itu. Sambil memberi uang untuk bekal pulang, ia memberi nasihat, “Jadikan
kehidupan yang lalu sebagai pelajaran berharga. Jangan sekali-kali menyakiti
hati orang tua!”
Keesokan harinya
Juha ke pasar lagi. Ia terkejut, seorang tak dikenalnya sedang menawarkan
keledainya. Juha, yang telah memiliki keledai itu bertahun-tahun, tentu saja
mengenalnya dengan baik. Segera ia mendekati keledainya. Ia berbisik di
telinganya, “Sudah kuperingatkan kamu jangan durhaka kepada orang tua. Baru
satu hati aku bebaskan kamu sudah melakukan dosa yang sama. Sekarang rasakan
saja hukuman kamu!” Juha pergi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.”
“Wahai manusia! Aku heran pada
orang yang yakin akan kematian, tapi ia hidup bersuka-ria. Aku heran pada orang
yang yakin akan adanya alam akhirat, tapi ia menjalani kehidupan dengan
bersantai-santai.”